Namanya Maria Katarina Sumarsih. Ia lahir dari keluarga sederhana pada 5 Mei 1952, di Kabupaten Semarang. Ayahnya, Mitroredjo, adalah seorang petani yang berpesan kepada anak-anaknya untuk menjalani hidup sederhana serta terus mengejar ilmu pengetahuan yang tak lekang dimakan usia.
Pada 1966, Sumarsih mendaftar ke sebuah Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) di Salatiga. Di kota itu dia berjumpa dengan seorang mahasiswa Universitas Satya Wacana bernama Arief Priyadi, yang kelak menjadi suaminya. Pada 5 Desember 1976, Sumarsih dan Arief menerima sakramen pernikahan di Gereja Santo Para Martir Jepang, Salatiga.
Selang setahun mereka pindah ke Jakarta. Pada 15 Mei 1978, putra pertama mereka lahir. Mereka menamakannya BR Norma Irawan. Dua tahun kemudian, Wawan mendapat adik perempuan: BR Irma Normaningsih.
Rutinitas Sumarsih makin padat ketika memutuskan bekerja sebagai pegawai negeri di Sekretariat Jenderal DPR RI. Dia sempat menjabat sebagai Sekretaris Fraksi Golkar di masa Orde Baru — sebuah posisi yang cukup bergengsi pada saat itu.
Namun Sumarsih tidak menyangka suksesi politik Indonesia di tahun 1998 akan melibatkan dirinya dalam pusaran arus politik hak asasi manusia yang lebih besar lagi. Di tahun yang penuh memori kelam itu, Sumarsih masih menghabiskan sebagian waktunya bekerja di Senayan. Ia tahu ibu kota tidak dalam keadaan aman. Berkali-kali ia meminta kepada anak-anaknya untuk segera pulang ke rumah.
Sampai kabar buruk itu tiba. Jumat, 13 November 1998 ia mengetahui Wawan tewas bersama dengan 7 mahasiswa lainnya, dalam sebuah peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Semanggi I. Wawan, mahasiswa Universitas Katolik Atmajaya, aktif dalam tim relawan yang memang siap sedia di lokasi demonstrasi, termasuk salah satunya di Universitas Atmajaya.
Tangis Sumarsih meledak ketika melihat tubuh Wawan terbujur kaku di Rumah Sakit Jakarta, tidak jauh dari lokasi kejadian. Mulanya ia masih menutup diri atas kematian Wawan dan misteri siapa pembunuh berdarah dingin yang harus bertanggung jawab atas kematian anaknya. Ia bahkan tidak banyak melakukan komunikasi dengan orang-orang selain keluarganya.
Namun ketika Sumarsih membaca salah satu berita di harian Kompas Sabtu, 10 April 1999 harapannya timbul. Berita itu telah membuka pintu langkahnya untuk turun ke jalan.
Dari berita, Sumarsih mengetahui bahwa ada beberapa aktivis perempuan dari berbagai kota besar di Indonesia, berkumpul setiap Jumat sore di Bundaran HI melakukan aksi damai menolak kekerasan. Pada Jumat, 16 April 1999 Maria Sumarsih pertama kali ikut berdemonstrasi.
Semangatnya kembali dipupuk. Ia tidak lagi bekerja di sektor birokrasi politik. Selama lebih dari satu dekade Sumarsih memilih bergabung bersama dengan komunitas korban dan keluarga korban dalam berbagai aktivitas. Harapannya sederhana: menemukan para pelaku kejahatan HAM yang telah membunuh anaknya dan telah melakukan banyak kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia.
Perjuangan panjang Maria Sumarsih untuk mendorong terbentuknya mekanisme Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Trisakti, Semanggi I dan II memang tidak mudah. Tim penyelidik yang dibentuk oleh Komnas HAM memang berhasil menemukan serangkaian bukti yang memperkuat adanya praktik pelanggaran HAM yang berat pada Tragedi Semanggi I.
Namun demikian, hingga kini belum ada Pengadilan HAM ad hoc yang digelar. Sumarsih kerap mengekspresikan kekecewaannya atas modus pengembalian berkas penyelidikan Komnas HAM yang dilakukan Kejaksaan Agung.
Kekecewaannya berlipat ganda ketika mengetahui bahwa Kejaksaan Agung menyatakan bahwa mereka tidak bisa melakukan tindakan konkret apapun, karena terbentur dengan prinsip Nebis in Idem — pengadilan militer yang telah memvonis dan menjatuhkan hukuman kepada para pelaku penembakan Trisakti, Semanggi I dan II. Termasuk ketiadaan rekomendasi politik DPR untuk menggelar sebuah penyidikan perkara untuk kasus serupa.
Kekecewaan tidak membuat Sumarsih patah semangat. Dia dan beberapa keluarga korban lain tetap menghidupi komunitas-komunitas kemanusiaan yang ada. Ia kerap menghadiri diskusi publik di banyak kampus, media massa, pertemuan diplomat untuk mendorong penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Sumarsih mendapat Yap Thiam Hien Award di tahun 2004 atas konsistensi dan komitmennya untuk mendorong penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
“Saya mungkin tidak memiliki semua pengetahuan dan keahlian yang luar biasa. Tapi saya sungguh mengetahui bahwa kekuatan korban yang bersatu tak akan mungkin dikalahkan”.
Semangatnya masih akan selalu terasa di setiap Kamis sore, di depan Istana Presiden. Di usia senja, dengan tubuh yang mulai ringkih, Sumarsih tetap berdiri tegar bersama dengan kelompok korban lain dalam aksi yang diberi nama Aksi Diam Hitam Kamisan yang ia kelola bersama jejaring korban pelanggaran HAM melalui Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). Kini, aksi tersebut sudah berjalan sepanjang 6 tahun tanpa ada wujud keadilan yang bisa ia raih.
Langkah panjang Sumarsih tidak membuatnya surut dalam kesedihan. Ia masih percaya bahwa dengan menegakkan hukum dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, di sanalah letak peradaban berada. (Sumber)
0 komentar:
Posting Komentar