Kisah Unik Penjaga Mayat yang Memandikan Nurdin M Top - Gerimis masih menitik sore itu. Mashudi tampak asyik menghisap rokok di rumahnya yang cuma selebar setengah lapangan bulu tangkis. Tepat di samping jendela ia duduk, menghadap ke halaman yang terdapat jemuran warna-warni. "Maaf rumahnya sumpek dan gelap," kata pria berusia 67 tahun itu, Ahad, 31 Maret 2013, lalu, kepada Tempo, sembari menyeruput kopi.
Mashudi sedang libur. Dirinya belum mendapat panggilan dari Rumah Sakit Bhayangkara TK. I. R. Said Sukanto sejak pagi. Ia adalah penjaga kamar mayat. Pekerjaan itu sudah menjadi bagian hidupya selama 30 tahun. Meski pensiun sebagai pegawai rumah sakit pada 2002, ia tetap diperbantukan hingga sekarang, karena pengalamannya.
Sebelum menjadi penjaga kamar mayat, pria kelahiran Yogyakarta ini merupakan pegawai serabutan sejak 1968. Mulai dari jadi tukang sapu sampai tukang parkir rumah sakit ia jabani. Beberapa tahun kemudian, barulah ia dekat dengan bau formalin dan kapur barus.
Selama menjadi penjaga kamar mayat, segudang pengalaman dialaminya. Yang paling berkesan, ia mengatakan, ketika dirinya memandikan jenazah dua teroris ternama: Dr Azhari dan Nurdin M top beberapa tahun lalu. Awalnya, ia tidak percaya akan menangani jenazah mereka, yang selama ini cuma ia bisa lihat di layar kaca. "Jenazahnya sudah membusuk, karena sudah berbulan-bulan," ujarnya dengan mimik datar.
Waktu memandikan, tanpa sengaja, pergelangan tangannya terciprat air jenazah Nurdin M Top. Alhasil, ia mengalami gatal-gatal seminggu, meski sudah memakai sarung tangan. Tapi ia tidak berpikir itu sebuah pertanda jelek atau baik. "Di RS Polri itu penjaganya tidak pernah pakai masker, saya nafas lewat mulut biar tidak mual," katanya.
Baginya, memandikan dengan tubuh hancur tak berbentuk, sudah bukan hal aneh. Yang paling diingatnya adalah ketika memandikan jenazah korban jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, tahun lalu. Saat itu dirinya terkejut. Bukan karena aromanya menyengat hidung. Melainkan "keder" menyusun bagian tubuh korban yang terpisah. Seperti main "puzzle", ia pun menyusun kaki, tangan dan leher agar sesuai letaknya sebelum dimandikan.
Mayat yang datang di RS Polri, kata dia, tidak pernah mengenal waktu. Meski sudah lelap tertidur di tengah malam, kadang ada saja petugas datang membawa mayat anonim. Kebanyakan, yang matinya karena kecelakaan, seperti dilindas truk atau kereta api.
Sore itu, Tempo diajaknya mengunjungi kamar jenazah tempatnya bekerja. Uniknya, Mashudi memiliki "jalan tikus" sendiri menuju kamar mayat. Setiap berangkat kerja, ia selalu melompat pagar tembok samping rumah sakit, yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Cukup tinggi, sekitar dia meter. Tetapi, meski sudah tua, dia masih kuat melompat. Tidak sampai lima menit, kami pun langsung tiba di belakang kamar jenazah. "Sudah puluhan tahun saya bekerja dengan melompat pagar itu," kata Mashudi yang memakai kaos dan peci putih tertawa.
Di dalam kamar mayat itu ada kereta dorong mayat dan peti mati yang tersusun rapi di pojokkan. Kamar jenazah itu dibagi dua. Satu untuk tempat memandikan, dan yang satunya lagi untuk bagian f
0 komentar:
Posting Komentar