Kejamnya Penjara & Pelecehan Seks Untuk Mereka Yang Dicap PKI
- Ratusan narapidana di Lapas Klas I Tanjung Gusta Medan, Sumatera
Utara, mengamuk, Kamis (12/7). Mereka memprotes fasilitas penjara.
Sebagian napi juga memprotes peraturan pemerintah yang tak memberikan
remisi pada tahanan narkoba dan teroris.
Fasilitas dan kondisi tahanan memang tak pernah memuaskan, terkadang
bisa sangat memuakkan. Pada saat Orde Baru, kondisi tahanan paling
mengerikan dialami mereka yang dicap terlibat Partai Komunis Indonesia
(PKI).
Sri Sulistyawati (71), adalah seorang wartawati Warta Buana yang sebelas
tahun dipenjara di Bukit Duri. Sri menjadi tahanan politik karena
dianggap pembela Soekarno. Alasan lain, Sri pernah membantu mendirikan
Gerwani cabang Jakarta. Selain itu suami Sri adalah Ketua Pemuda Rakyat
Sukatno yang menjadi underbouw PKI. Tanpa pengadilan Sri dijebloskan ke
penjara.
"Di sana saya makan dengan pinset karena nasinya dicampur dengan beling
dan pasir. Mereka (Pemerintah Soeharto) ingin kita mati pelan-pelan,"
jelas Sri kepada merdeka.com.
Sri menjelaskan umumnya tahanan tidak disiksa di Penjara Bukit Duri.
Tapi dibawa ke tempat lain. Istilahnya dibon, atau dipinjam. Nasib
tahanan pun bergantung ke tempat mana dia dibon.
"Banyak yang tidak kembali lagi ke tahanan. Mungkin dieksekusi," kata
Sri yang mengalami siksaan di lokasi Gang Buntu, Kebayoran Lama.
Dalam buku Menyeberangi Sungai Air Mata, kisah tragis Tapol 65 dan upaya
rekonsiliasi terbitan Kanisius tahun 2007, dikupas penderitaan yang
dialami para Tapol 65.
Salah satu korban geger 65 itu bernama Christina Sumaryati. Seorang
mahasiswi IKIP Yogyakarta. Christina ditangkap karena tercatat sebagai
anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Rupanya tentara
menganggap IPPI merupakan organisasi underbouw PKI.
Awalnya Christina ditahan di Kamp Tahanan Cebongan. Siksaan di sini
masih tak terlalu berat. Anehnya para penjaga selalu meminta melihat
paha para tahanan wanita. Katanya kalau Gerwani, ada cap palu aritnya.
Tentu saja itu akal-akalan saja.
Christina sempat dibebaskan karena dianggap tak terlibat. Baru saja dia
mulai menjalani hidup, April 1968 dia kembali ditangkap. Alasannya pun
aneh. Karena orang yang dicari tak ada, para anggota ormas itu menangkap
Christina.
"Saya ditelanjangi dan disuruh naik ke atas meja. Mereka membakar kemaluan saya dan menyiksa saya," kata Christina.
Setelah itu mereka membawa Christina ke tahanan Wirogunan. Di sana
kembali dia mengalami siksaan di luar batas kemanusiaan. Mulai dipukuli,
ditelanjangi, diarak hingga dilecehkan.
Dari Wirogunan, dia dibawa ke Kamp Plantungan dan akhirnya penjara Bulu
Semarang. Christina baru bebas tahun 1978. Dia dipenjara 10 tahun tanpa
proses pengadilan atau kesempatan membela diri.
Kisah lain dituturkan Maria Madgalena Sujilah. Dia seorang penari yang
mahir, hingga pernah menari di depan Presiden Soekarno. Kemudian dia
bergabung dengan pemuda rakyat dan menarikan tari genjer-genjer. Itulah
awal mimpi buruknya.
Sujilah muda tak tahu apa itu politik, atau PKI. Dia hanya ikut-ikutan
teman. Disuruh menari ya menari. Tak tahu apa yang terjadi di Lubang
Buaya, Dewan Jenderal atau apa itu Gerpol.
Oleh tentara Sujilah dipaksa mengaku terlibat penculikan para jenderal.
Bagaimana mau terlibat, saat itu dia ada di Yogya. Tapi mereka terus
memukuli Sujilah. Ditelanjangi, disundut rokok, dilecehkan hingga diberi
makanan yang hanya layak untuk babi.
Masih banyak kisah serupa yang membeberkan gelapnya penjara bagi para
tahanan politik. Tiga orang ini hanya mewakili ribuan orang yang
ditangkap dengan sewenang-wenang dan diperlakukan sangat buruk dalam
tahanan.[
sumber : http://www.lucgen.com/2013/07/kejamnya-penjara-pelecehan-seks-untuk.html