Dalam tradisi pemakaman keluarga di Taiwan, kehadiran seorang "tukang tangis" yang mewakili duka keluarga yang ditinggalkan lumrah ditemui. Dia tidak sekadar sesenggukan, namun menangis dengan kencang untuk sekian lama selama prosesi penghormatan terhadap jenazah sebelum dikubur atau dikremasi. Ini demi menunjukkan rasa duka yang mendalam.
Walau terdengar asing di telinga, ini merupakan profesi tua di Taiwan yang diwariskan secara turun temurun. Salah satu wakil generasi muda yang masih menekuni profesi ini adalah Liu Jun-Lin (30).
Dia sudah menjalani profesi juru tangis pemakaman selama beberapa tahun. Walau terdengar menyeramkan karena harus melihat jenazah orang yang telah tiada, namun Jun-Lin mengaku mencintai profesi yang bagi sebagian orang dinilai aneh.
Stigma Negatif
Jun-Lin mengaku memperoleh bakat sindennya dari nenek dan ibunya yang dulu juga menekuni profesi serupa. Jun-Lin kecil kerap menemani sang ibu bekerja dengan hadir di acara-acara pemakaman.
Ketika berada di rumah, dia sering menirukan gaya sang ibu dan kakak tertuanya ketika mereka berlatih. "Saya meraih benda apa pun yang ada di dekat saya dan berpura-pura itu adalah mikrofon," ujar Jun-Lin seperti dikutip laman BBC, Selasa 26 Februari 2013.
Dia pun akhirnya menekuni pekerjaan itu secara profesional karena tuntutan keadaan. Ketika berusia 11 tahun, kedua orang tuanya meninggal dunia. Jun-Lin kecil dan adik laki-lakinya akhirnya diasuh sang nenek dan mengajaknya untuk terlibat dalam usaha keluarga itu demi bertahan hidup.
Jun-Lin kerap harus bangun di pagi-pagi buta untuk berlatih dan bahkan harus melewatkan sekolah. Ketika berada di sekolah pun, Jun-Lin masih harus bersabar menghadapi cemoohan teman-temannya mengenai kostum yang dia kenakan ketika bekerja.
"Mereka bilang pekerjaan saya aneh. Saya jelek dan terlihat sangat bodoh. Saat itu saya merasa tidak percaya diri dan menganggap mereka tidak menyukai saya," tutur Jun-Lin.
Stigma negatif juga datang dari keluarga klien yang menggunakan jasanya. "Kadang-kadang, sebelum kami memulai penampilan, keluarga yang berduka akan berbicara ketus terhadap kami. Tapi setelah melihat penampilan kami, mereka menangis dan bahkan mengucapkan terima kasih," katanya.
Memulai Karier Profesional
Berangkat dari testimonial keluarga yang berduka itulah, Jun-Lin menyadari bahwa pekerjaan yang dia lakukan ternyata dapat memberikan manfaat bagi orang lain.
Menurut Jun-Lin, setelah mendengar tangisannya yang terkesan berirama, pihak keluarga yang berduka terbantu untuk melepaskan emosi atau mengungkapkan hal yang tidak berani mereka katakan selama prosesi pemakaman.
"Bagi mereka yang merasa malu dan takut untuk menangis, penampilanku ternyata juga membantu mereka untuk meluapkan emosinya dengan menangis," ujarnya.
Jun-Lin pun akhirnya memutuskan untuk menekuni profesi ini secara profesional. Dengan dibantu iringan instrumen petik yang dibawakan oleh adiknya, Jun-Lin menampilan hiburan yang berbeda.
Kemampuan olah vokalnya pun terus dilatih, sehingga dia bisa menyanyi sambil menangis dengan suara panjang yang menyayat hati. Jun-Lin mengaku setiap tetes air mata yang dia keluarkan asli karena dia turut merasakan duka keluarga yang ditinggalkan.
"Di setiap proses pemakaman yang kamu hadiri, kamu juga harus merasakan bahwa mereka adalah keluargamu juga. Ketika saya menyaksikan banyak
orang yang berduka, saya bahkan bisa lebih sedih lagi," ungkapnya.
Maka tak heran jika kini dia berhasil menjadi juru tangis di acara pemakaman dengan tarif bayaran yang tinggi. Untuk sekali hadir dan mengisi prosesi pemakaman, Jun-Lin mematok tarif yang nilainya setara Rp5,6 juta.
Taraf perekonomian mereka pun meningkat. Kini, dia dan sang adik sudah mampu membeli rumah mereka sendiri.
Menurut Direktur Pemakaman, Lin Zhenzhang, yang sudah lama bekerja sama dengan Jun-Lin tidak heran akan keberhasilan yang diraih wanita berusia 30 tahun itu. Zhenzhang menganggap usia Jun-Lin yang masih muda dan penampilannya yang cantik membuat profesi ini tidak selalu identik hanya dilakoni oleh orang tua saja.
"Itu yang justru membuat orang semakin penasaran terhadap dirinya," ujar Zhenzhang kepada BBC.
Tantangan Krisis
Namun usaha di bidang ini mengalami penurunan akibat krisis ekonomi. Menurut Zhenzhang, jumlah sinden pemakaman semakin lama semakin berkurang, karena orang Taiwan sudah semakin jarang membuat prosesi pemakaman yang megah.
"Sehingga orang-orang seperti Jun-Lin harus mencari cara untuk terus memperbarui profesinya atau mencari sumber pemasukan yang lain," ungkap Zhenzhang.
Jun-Lin pun tidak tinggal diam melihat hal ini. Dia segera mengelola usaha keluarganya ini secara profesional. Dia kemudian merekrut 20 asisten wanita cantik dan muda untuk membantu prosesi pemakaman dan pengawetan jenazah.
Dia pun kini semakin menuai sukses, karena tidak ada pemain lain yang melakukan hal serupa di utara Taiwan. Jun-Lin juga bertekad untuk tidak akan meninggalkan usaha keluarga yang dirintis oleh neneknya itu.
"Ini adalah sesuatu yang diperjuangkan oleh nenek saya dan saya akan mengajarkan kepada orang lain apa yang telah diajarkannya. Saya akan terus melanjutkan tradisi yang dia bawa," kata Jun-Lin.(ren) (SUmber)