Machicha Mochtar dan Muhammad Iqbal, putranya
Sudah berkali-kali rasanya kita mendengar kisah
Nabi Muhammad yang ketika ditanya oleh sahabatnya siapa yang paling
tinggi kedudukannya, beliau menjawab “ibu” sampai tiga kali. Pun tak
asing kita mendengar kesucian hati Bunda Teresa yang memperjuangkan
ribuan orang miskin dan termarjinalkan, atas nama kemanusiaan.
Ibu, ialah sosok yang dibicarakan dengan penuh cinta dan perjuangan,
melampaui sekat-sekat keagamaan dan keyakinan. Mafhum, ia telah dan akan
terus diasosiasikan sebagai sosok yang lekat dengan kehidupan, dari
rahimnya, kehidupan umat manusia berlangsung tanpa jeda. Dari tangannya,
nilai-nilai kebijaksanaan terus menerus menyebar seiring dengan belaian
dan didikan yang ia tanamkan kepada anak-anaknya.
Ibu merepresentasikan sosok perempuan. Sebagai perempuan, ia memiliki
makna mulia, sebagaimana kata “perempuan” yang memiliki kata dasar
“empu”, dalam bahasa sanskerta empu bermaknakan insan yang dihormati dan
dimulyakan. Sebagai wanita, yang berawal dari kata vanita, van bermakna
ia yang dicintai, sedang hita bermakna ia yang sejahtera lagi
bijaksana.
Mewakili sosok perempuan dan wanita, ibu dengan demikian ialah sosok
yang dicintai sekaligus mencintai, ia sejahtera sekaligus
menyejahterakan anak-anak. Sejahtera, pada gilirannya bukan melulu soal
harta, namun sejahtera meliputi jiwa dan rasa.
Itu pulalah yang kita lihat pada perjuangan seorang pendangdut
senior, Machica Mochtar. Jika kita hendak menengok kaleidoskop sejenak
di tahun 2012, tentu kita ingat bagaimana istri almarhum Moerdiono itu
pontang-panting ke pengadilan demi menuntut hak anaknya, Iqbal Muhammad,
anak hasil pernikahan sirinya dengan mendiang Moerdiono.
Meski dicemooh di mana-mana karena dianggap hanya hendak mencari
harta warisan sang mantan sekretaris negara itu, ia terus berjuang tanpa
lelahnya, meminta MK melakukan judicial review terhadap UU Perkawinan,
beberapa pasal dalam UU tersebut dinilai tak menjamin hak-hak seorang
anak yang dihasilkan dari pernikahan siri.
Perjuangannya pun tak sia-sia, permohonannya dipenuhi oleh MK pada
februari lalu. Tak ayal, ia diselimuti kebahagiaan yang luar biasa,
anaknya sah diakui sebagai anak dari Moerdiono. Pada gilirannya, Machica
Mochtar tak sekadar memperjuangkan anaknya saja, tapi perjuangannya
berdampak pada ribuan anak Indonesia hasil nikah siri yang awalnya hanya
menjadi tanggungan sang Ibu semata.
Berbeda dengan Machica Mochtar yang berjuang di ranah hukum, Susan
Dibene, seorang ibu berusia 33 tahun asal Amerika Serikat justru memilih
mengorbankan nyawanya sendiri di sebuah rel kereta api di Riverside,
demi menyelamatkan nyawa anaknya.
Kisah mengharukan itu bermula ketika kereta dorong yang berisi
putrinya yang baru berusia dua tahun tersangkut di rel kereta. Dibene
berhasil mendorong kereta dorong tersebut keluar dari rel, namun nasib
tak berpihak padanya, setelah berhasil menyelamatkan anaknya, justru ia
sendiri tertabrak commuter yang membuatnya tewas seketika.
Mengenang kisah para ibu yang heroik serta rela bersusah payah dan
berjungkir balik demi buah hatinya tercinta, pada akhirnya akan membawa
kita pada seremonial tahunan yang kita nikmati bersama sebagai Hari Ibu.
Helatan tiap tanggal 22 Desember itu berawal dari niat untuk
mengenang perjuangan para ibu hebat yang pernah dimiliki Indonesia,
seperti Tjut Nyak Dien, R.A. Kartini, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan,
dll.
Mereka, seperti halnya ibu-ibu lainnya, telah rela memeras keringat
dan membaktikan hidup untuk anaknya. Yang menjadi beda adalah, bahwa
perjuangan mereka merupakan pengorbanan demi anak-anak bangsa yang lebih
jamak, untuk khalayak yang lebih luas. Mereka berjuang dalam segala
perspektif kesejahteraan.