Sabtu, 29 Desember 2012

Ibu, Sang Pejuang Masa Depan


 
image
Machicha Mochtar dan Muhammad Iqbal, putranya
Sudah berkali-kali rasanya kita mendengar kisah Nabi Muhammad yang ketika ditanya oleh sahabatnya siapa yang paling tinggi kedudukannya, beliau menjawab “ibu” sampai tiga kali. Pun tak asing kita mendengar kesucian hati Bunda Teresa yang memperjuangkan ribuan orang miskin dan termarjinalkan, atas nama kemanusiaan.
Ibu, ialah sosok yang dibicarakan dengan penuh cinta dan perjuangan, melampaui sekat-sekat keagamaan dan keyakinan. Mafhum, ia telah dan akan terus diasosiasikan sebagai sosok yang lekat dengan kehidupan, dari rahimnya, kehidupan umat manusia berlangsung tanpa jeda. Dari tangannya, nilai-nilai kebijaksanaan terus menerus menyebar seiring dengan belaian dan didikan yang ia tanamkan kepada anak-anaknya.
Ibu merepresentasikan sosok perempuan. Sebagai perempuan, ia memiliki makna mulia, sebagaimana kata “perempuan” yang memiliki kata dasar “empu”, dalam bahasa sanskerta empu bermaknakan insan yang dihormati dan dimulyakan. Sebagai wanita, yang berawal dari kata vanita, van bermakna ia yang dicintai, sedang hita bermakna ia yang sejahtera lagi bijaksana.
Mewakili sosok perempuan dan wanita, ibu dengan demikian ialah sosok yang dicintai sekaligus mencintai, ia sejahtera sekaligus menyejahterakan anak-anak. Sejahtera, pada gilirannya bukan melulu soal harta, namun sejahtera meliputi jiwa dan rasa.
Itu pulalah yang kita lihat pada perjuangan seorang pendangdut senior, Machica Mochtar. Jika kita hendak menengok kaleidoskop sejenak di tahun 2012, tentu kita ingat bagaimana istri almarhum Moerdiono itu pontang-panting ke pengadilan demi menuntut hak anaknya, Iqbal Muhammad, anak hasil pernikahan sirinya dengan mendiang Moerdiono.
Meski dicemooh di mana-mana karena dianggap hanya hendak mencari harta warisan sang mantan sekretaris negara itu, ia terus berjuang tanpa lelahnya, meminta MK melakukan judicial review terhadap UU Perkawinan, beberapa pasal dalam UU tersebut dinilai tak menjamin hak-hak seorang anak yang dihasilkan dari pernikahan siri.
Perjuangannya pun tak sia-sia, permohonannya dipenuhi oleh MK pada februari lalu. Tak ayal, ia diselimuti kebahagiaan yang luar biasa, anaknya sah diakui sebagai anak dari Moerdiono. Pada gilirannya, Machica Mochtar tak sekadar memperjuangkan anaknya saja, tapi perjuangannya berdampak pada ribuan anak Indonesia hasil nikah siri yang awalnya hanya menjadi tanggungan sang Ibu semata.
Berbeda dengan Machica Mochtar yang berjuang di ranah hukum, Susan Dibene, seorang ibu berusia 33 tahun asal Amerika Serikat justru memilih mengorbankan nyawanya sendiri di sebuah rel kereta api di Riverside, demi menyelamatkan nyawa anaknya.
Kisah mengharukan itu bermula ketika kereta dorong yang berisi putrinya yang baru berusia dua tahun tersangkut di rel kereta. Dibene berhasil mendorong kereta dorong tersebut keluar dari rel, namun nasib tak berpihak padanya, setelah berhasil menyelamatkan anaknya, justru ia sendiri tertabrak commuter yang membuatnya tewas seketika.
Mengenang kisah para ibu yang heroik serta rela bersusah payah dan berjungkir balik demi buah hatinya tercinta, pada akhirnya akan membawa kita pada seremonial tahunan yang kita nikmati bersama sebagai Hari Ibu.
Helatan tiap tanggal 22 Desember itu berawal dari niat untuk mengenang perjuangan para ibu hebat yang pernah dimiliki Indonesia, seperti Tjut Nyak Dien, R.A. Kartini, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, dll.
Mereka, seperti halnya ibu-ibu lainnya, telah rela memeras keringat dan membaktikan hidup untuk anaknya. Yang menjadi beda adalah, bahwa perjuangan mereka merupakan pengorbanan demi anak-anak bangsa yang lebih jamak, untuk khalayak yang lebih luas. Mereka berjuang dalam segala perspektif kesejahteraan.

Mereka turut serta dalam menyejahterakan perempuan dan anak Indonesia dari sisi pendidikan, ekonomi, bahkan dalam kerja heroik semacam melawan penjajahan. Melalui itu, wujud kecintaan mereka terhadap manusia terejawantahkan dalam gerakan-gerakan yang menggugah naluri kita.
Memang nyatanya begitulah sosok bernama ibu, kisah-kisah nyata perjuangannya terserak di mana-mana.
Kasih ibu sepanjang masa, itulah pepatah yang tak pernah lekang oleh zaman, sama tak lekangnya dengan perjuangan yang seorang ibu lakukan demi kehidupan manusia. Ibu rela menjadi apapun demi anaknya, menjadi pengasong di jalanan, peminta-minta di traffic light, penjual gorengan di sudut-sudut desa, bahkan menjadi tunasusila.
Mungkin ibu kita di rumah bukanlah tokoh sekaliber R.A. Kartini atau Tjut Nyak Dien yang gambarnya dipajang di tiap sudut rumah. Tapi ibu kita adalah jua ibu hebat yang memiliki kisah-kisah heroiknya sendiri.
Mereka pasti memiliki kisah-kisahnya sendiri dalam pengorbanan mereka kala mengandung hingga membesarkan kita dengan tangannya yang penuh cinta. Dalam rengkuhnya yang hangat sekalipun, ia mengalirkan berbagai cerita penuh makna. Dan karenanya, terima kasih saja tak cukup menyepadankan segala ketulusannya.
Meluangkan waktu seharian di 22 Desember sekadar untuk berdekat dengan Bunda, memintanya beristirahat dari pekerjaan rumahnya, dan memintanya untuk bercerita barangkali adalah salah satu bentuk apresiasi yang manis untuk ibu-ibu kita di rumah.
Selamat Hari Ibu Indonesia ! (Sumber)

0 komentar:

Posting Komentar

Update Terbaru

Blogger Widget Get This Widget -

Semua Ada di Sekitar Kita