Jakarta - PT Kereta Api Indonesia (KAI) masih
terus melakukan impor gerbong KRL bekas asal Jepang. Langkah PT KAI
secara ketentuan hukum tak ada masalah karena Indonesia belum punya
aturan soal standar usia kereta/gerbong KRL.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit mengatakan, impor kereta bekas saat ini memang menjadi dilema.
Ia beralasan subsidi kereta api yang tak memadai membuat KAI mencari solusi agar tetap beroperasi secara efisien. Di sisi lain Indonesia memiliki industri kereta yang cukup mapan melalui INKA namun harga kereta buatan dalam negeri cukup mahal.
"Kereta bekas ini selalu jadi dilema, sebenarnya kita bisa bikin melalui INKA, ini kita bicara cost. Ini juga soal tarif kereta yang ditetapkan pemerintah karena ada subsidi, kalau dana subsidi minim, maka PT KAI mencari kereta yang murah," katanya kepada detikFinance, Senin (7/1/2013)
Danang juga menambahkan, soal kualitas kereta bekas asal Jepang menurutnya di negara asalnya memang kereta-kereta tersebut sudah melewati umur teknis maupun ekonomis.
Umumnya kereta-kereta tersebut sudah berumur lebih dari 10 tahun, dalam ketentuan regulasi Jepang tak boleh lagi digunakan. Sementara di Indonesia karena tak memiliki standar umur kereta, justru melakukan sebaliknya.
"Jadi kereta-kerata di Jepang kalau sudah 10 tahun, dianggap harganya sudah nol, jadi harga keretanya ke Indonesia itu untuk biaya importasi dan pengangkutan saja," katanya.
Ia menuturkan, masalah impor kereta bekas asal Jepang ini lebih pada persoalan kebijakan standar kedua negara saja yang berbeda. "Kita belum ada regulasi, seperti beberapa armada commuter yang masih beroperasi sekarang ini sudah berusia 20-30 tahun, kalau kita lihat fisiknya memang masih bagus," katanya.
Danang mengakui Jepang memang cukup ketat untuk persoalan mengenai usia kereta. Meskipun ia mengakui walaupun KAI memakai kereta bekas asal Jepang, secara kelayakan masih sangat memungkinkan dioperasikan di Indonesia.
"Saya kira ya, Jepang tak mungkin mengirim kereta bekasnya tanpa adanya jaminan," katanya.
Sebelumnya Dirut PT KAI Commuter Trihandoyo saat dihubungi detikFinance mengatakan pihaknya akan mendatangkan KRL bekas hingga mencapai 1.000 unit.
Ia beralasan subsidi kereta api yang tak memadai membuat KAI mencari solusi agar tetap beroperasi secara efisien. Di sisi lain Indonesia memiliki industri kereta yang cukup mapan melalui INKA namun harga kereta buatan dalam negeri cukup mahal.
"Kereta bekas ini selalu jadi dilema, sebenarnya kita bisa bikin melalui INKA, ini kita bicara cost. Ini juga soal tarif kereta yang ditetapkan pemerintah karena ada subsidi, kalau dana subsidi minim, maka PT KAI mencari kereta yang murah," katanya kepada detikFinance, Senin (7/1/2013)
Danang juga menambahkan, soal kualitas kereta bekas asal Jepang menurutnya di negara asalnya memang kereta-kereta tersebut sudah melewati umur teknis maupun ekonomis.
Umumnya kereta-kereta tersebut sudah berumur lebih dari 10 tahun, dalam ketentuan regulasi Jepang tak boleh lagi digunakan. Sementara di Indonesia karena tak memiliki standar umur kereta, justru melakukan sebaliknya.
"Jadi kereta-kerata di Jepang kalau sudah 10 tahun, dianggap harganya sudah nol, jadi harga keretanya ke Indonesia itu untuk biaya importasi dan pengangkutan saja," katanya.
Ia menuturkan, masalah impor kereta bekas asal Jepang ini lebih pada persoalan kebijakan standar kedua negara saja yang berbeda. "Kita belum ada regulasi, seperti beberapa armada commuter yang masih beroperasi sekarang ini sudah berusia 20-30 tahun, kalau kita lihat fisiknya memang masih bagus," katanya.
Danang mengakui Jepang memang cukup ketat untuk persoalan mengenai usia kereta. Meskipun ia mengakui walaupun KAI memakai kereta bekas asal Jepang, secara kelayakan masih sangat memungkinkan dioperasikan di Indonesia.
"Saya kira ya, Jepang tak mungkin mengirim kereta bekasnya tanpa adanya jaminan," katanya.
Sebelumnya Dirut PT KAI Commuter Trihandoyo saat dihubungi detikFinance mengatakan pihaknya akan mendatangkan KRL bekas hingga mencapai 1.000 unit.
"Terus
(akan impor KRL) setiap tahun kita akan lakukan hingga mencapai 1.000
unit lebih. Itu target yang akan kita akan lakukan," ungkap Trihandoyo.
Trihandoyo mengatakan, impor 1.000 gerbong KRL bekas asal Jepang merupakan amanat yang harus dilakukan PT KAI Commuter. Tahun 2019 PT KAI Commuter ditargetkan bisa mengangkut 1,2 juta penumpang setiap harinya.
"Ini harus kita lakukan karena target kita bisa menampung jumlah penumpang hingga 1,2 juta penumpang setiap harinya pada tahun 2019," katanya.
Trihandoyo menegaskan Ia merasa enggan untuk membeli KRL baru baik dari Jepang maupun dari Industri Nasional Kereta Api (PT INKA) karena harga yang jauh lebih mahal. Menurutnya perbedaan harga hingga 10 kali lipat jika Ia membeli KRL jenis baru bisa mempengaruhi harga tiket yang juga akan ikut mahal.
"Kalo beli KRL baru itu harganya 10 kali lipat dan jika harga pembelian KRL mahal berarti tarif juga naik. Bayangkan untuk membeli satu unit KRL baru asal Jepang harganya Rp 10 miliar, sedangkan buatan INKA Indonesia bisa mencapai Rp 8 miliar/unit," tuturnya. (Sumber)
Trihandoyo mengatakan, impor 1.000 gerbong KRL bekas asal Jepang merupakan amanat yang harus dilakukan PT KAI Commuter. Tahun 2019 PT KAI Commuter ditargetkan bisa mengangkut 1,2 juta penumpang setiap harinya.
"Ini harus kita lakukan karena target kita bisa menampung jumlah penumpang hingga 1,2 juta penumpang setiap harinya pada tahun 2019," katanya.
Trihandoyo menegaskan Ia merasa enggan untuk membeli KRL baru baik dari Jepang maupun dari Industri Nasional Kereta Api (PT INKA) karena harga yang jauh lebih mahal. Menurutnya perbedaan harga hingga 10 kali lipat jika Ia membeli KRL jenis baru bisa mempengaruhi harga tiket yang juga akan ikut mahal.
"Kalo beli KRL baru itu harganya 10 kali lipat dan jika harga pembelian KRL mahal berarti tarif juga naik. Bayangkan untuk membeli satu unit KRL baru asal Jepang harganya Rp 10 miliar, sedangkan buatan INKA Indonesia bisa mencapai Rp 8 miliar/unit," tuturnya. (Sumber)
0 komentar:
Posting Komentar