"Ibadah haji kehilangan makna asli, yakni penghayatan semua riwayat pengorbanan keluarga Nabi Ibrahim"
SEPULANG menunaikan ibadah haji kali pertama tahun 1980-an, saya menulis di Panji Masyarakat, menggunakan istilah ’’napak tilas’’ untuk mewartakan perjalanan tersebut. Setelah artikel terbit, banyak orang mengkritik, dan mengatakan itu upaya desakralisasi. Namun setelah banyak media cetak menggunakan istilah itu, lambat laun tidak ada lagi yang berkeberatan.
Dalam Surah Al-Hajj 27-28 Allah berfirman, ’’Panggillah manusia untuk
berhaji supaya mereka menyaksikan berbagai hal yang bermanfaat, dan
menyebut asma Allah pada hari-hari tertentu...’’
Saya perlu menegaskan tiga hal yang terkait dengan ayat tersebut.
Pertama; berhaji adalah panggilan Allah. Pengertian panggilan dalam
konteks ini sama seperti panggilan shalat. Ada yang mendengar azan namun
karena belum atau tidak merasa terpanggil, ia belum atau tidak shalat.
Ada juga yang memenuhi panggilan itu. Demikian juga dengan panggilan
untuk berhaji.
Lebih dari itu, semua tahapan dalam ibadah haji harus bisa memenuhi
syarat terpenting, yaitu tidak ada halangan atau hambatan untuk
menjalani. Seandainya seseorang tidak bisa menjadi haji atau gagal
berhaji, itu bukan karena tak ada panggilan Allah melainkan berbagai
faktor yang lebih bersifat lahiriah.
Membicarakan kegagalan melaksanakan atau menggapai sesuatu, semisal
gagal berwisata ke Amerika atau gagal menjadi bupati, bukan karena
semata-mata takdir. Hakikatnya apa pun yang terjadi memang karena takdir
Ilahi, namun secara lahiriah pasti ada faktor yang menjadi penyebab
utama. Lalu ketika ada orang gagal berkunjung ke Amerika atau gagal
dalam pilbup, mengapa kita tidak berbicara tentang panggilan,
sebagaimana dalam panggilan shalat?
Pergeseran Motivasi
Hal penting kedua adalah untuk tujuan apa orang berhaji. Secara
harfiah kata haji berarti bepergian untuk maksud tertentu. Dalam Alquran
ada ayat yang menjelaskan bahwa karena (memenuhi panggilan) Allah
jualah manusia berkunjung ke Rumah Allah (Baeti). Lalu, untuk apa?
Secara eksplisit Allah menekankan untuk menyaksikan berbagai hal yang
bermanfaat.
Pertanyaan selanjutnya, di Tanah Suci calhaj bisa melihat apa saja
yang bermanfaat baginya? Secara tersurat adalah Hijjul Baeti,
mengunjungi Baitullah, yang berlokasi di Bakkata (Makkah), tempat yang
diberkati Allah dan merupakan tengara alam. Kemudian, maqom (bekas
telapak kaki) Nabi Ibrahim tatkala mengawasi pembangunan Baitullah, dan
Masjidil Haram, kompleks masjid tempat Kakbah berdiri dan terdapat sumur
berair zamzam.
Adapun yang tersirat, adalah Jamarat (tempat pelemparan jamrah atau
batu kecil), lokasi sya'i antara bukit Shafa dan Marwa, sumur zamzam,
dan padang Arafah. Itu semua merupakan monumen yang berkaitan dengan
perjalanan hidup Nabi Ibrahim, Ibu Hajar, dan Nabi Ismail.
Begitu tempat-tempat itu menjadi lokasi ritus atau nusuk, proses
menyaksikan monumen sejarah kemanusiaan tersebut menjadi berubah.
Perjalanan ibadah haji kemudian dimaknai sebagai rangkaian ritus, bahkan
ada yang menganggap napak tilas perjalanan kemanusiaan.
Doa Baku
Ikutannya adalah calhaj terperangkap dalam kegiatan membaca doa dan
bacaan zikir, yang semua diperoleh dari buku tuntunan haji, serta tidak
lagi untuk menyaksikan hal-hal yang bermanfaat dan menghayati semua
kejadian di balik sejumlah monumen sejarah itu.
Tugas pembimbing manasik haji betul-betul hanya membimbing manasik,
atau ritualnya. Kita lupa bahwa sejak awal berhaji adalah ibadah fisik
semata, tanpa ada bacaan baku seperti dalam shalat. Ibadah haji berubah
menjadi rentetan ’’bacaan doa yang baku’’, sampai ada perusahaan
mengiklankan teknologi yang bisa menghafal semua doa ritus haji.
Saat ini, lengkaplah sudah ibadah haji menjadi kehilangan makna
asli, yakni mencoba menghayati semua riwayat pengorbanan keluarga Nabi
Ibrahim, penuh keprihatinannya seorang Hajar, cinta kasih seorang
Ibrahim, keberanian seorang Ismail, dan ketakwaan mereka semua.
Sementara perjalanan ke lokasi bersejarah pada zaman Nabi Muhammad
tetap dipandang sebagai ziarah, bukan manasik. Mengingat jamaahnya tidak
terlalu banyak maka dapat dilakukan penjelasan seperti dilakukan oleh
pemandu, ketika berziarahi di Masjid Nabawi, Masjid Quba, Masjid
Qiblatain, Bukit Uhud atau pusat perbelanjaan.
Yang ketiga, pada bagian akhir tulisan ini, saya nukilkan sebuah
hadis tentang motivasi menunaikan ibadah haji. ’’Akan datang suatu masa,
ketika umat manusia menunaikan haji, bagi hartawan atau ulama agar
terpandang (li turhah), bagi orang kebanyakan untuk berbisnis (li
tijaroh), bagi sebagian besar orang agar mendapat pujian (li riya') dan
kondang (li sum'ah) , dan bagi para fakir untuk meminta-minta (li
masalah). Begitu diberitakan oleh Imam Nasa'i dan Imam Turmudzi.
Kalau kita cermati, tampaknya masa yang diprediksi oleh Nabi telah
tiba. Bahkan sekarang ada tambahannya, yaitu untuk menipu atau mencuri
harta calon haji. (10)
— Abu Su'ud, guru besar emiritus Unnes, dan guru besar IKIP PGRI Semarang (Sumber)
— Abu Su'ud, guru besar emiritus Unnes, dan guru besar IKIP PGRI Semarang (Sumber)
0 komentar:
Posting Komentar