Pengakuan Kontroversial Sang Pelacur Tuhan - Tidak seorang pun di dunia ini ingin memiliki jalan hidup yang buruk. Termasuk Carla van Raay. Namun ketika “takdir” menggariskan demikian bagi perempuan itu, seolah tak tersedia pilihan lain kecuali menjalani dengan pelbagai pertanyaan yang dibangun dari trauma masa kecilnya. Ada sejumlah “kesalahan” dari awal yang dipercaya membuat hidupnya penuh kepedihan.
Nenek Carla melakukan hubungan seks pranikah dan melahirkan ibu Carla. Peristiwa ledakan petir yang membuat neneknya buta dianggap sebagai bentuk hukuman Tuhan. Di kemudian hari, Carla pun tahu bahwa ibunya hamil sebelum menikah dengan ayahnya. Dari sanalah Carla melihat tanda-tanda kegelapan yang bermuasal dari urusan dosa seksual.
God’s Callgirl. Dari judulnya saja, buku itu sudah mengundang kontroversi. Demikianlah Carla van Raay, yang telah menuliskan kisah hidupnya secara jujur dan blak-blakan. Buku itu menjadi best seller di Australia melalui penerbit Harper Collins dan kini diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Hikmah. Berbeda dengan memoar lain, ada aroma sastra yang membuat buku ini nikmat dibaca.
Carla van Raay lahir tahun 1938 di kota kecil Tilburg, Belanda. Di masa itu perang sedang berkecamuk. Tapi bukan kondisi itu yang membuat gadis kecil
Carla merasa sangat menderita dan ketakutan. Ia mengalami pelecehan seksual dari orang yang dihormati dan dipujanya, ayahnya sendiri, pada usia 3 tahun! Rahasia itu disimpannya hingga masuk SD. Ingatan buruk itu digambarkan begitu jelas, bagaimana pada malam hari sang ayah mendatangi tempat tidurnya dan memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya setelah menciumi seluruh wajahnya penuh nafsu. Kejadian traumatik itu berulang terus-menerus, memengaruhi kehidupannya hingga dewasa. Baginya, sang ayah seperti tokoh dengan pribadi ganda seperti Dr. Jekyll dan Mr Hyde. Ia bisa begitu baik, penolong, dan menunjukkan perilaku heroik, namun di sisi lain, saat hasrat seksual tak dapat dipenuhi oleh istrinya, jadi sangat menakutkan.
Pada tahun 1950, keluarganya pindah ke Australia. Selepas SMA, usia 18 tahun, Carla memutuskan menjadi biarawati. Tiga belas tahun hidup sebagai “pelayan Tuhan” ternyata tidak membuat pikirannya terang-benderang. Ia hanya menemukan konsep dosa yang serba menakutkan dari para pastor dan seniornya. Seks dan agama, tampaknya memang dua kutub yang berseberangan namun saling “menggoda” satu sama lain. Selalu ada pengkhianatan di antara keduanya. Carla sama sekali tidak melihat kejujuran mengenai seks dalam kehidupan biarawati, karena doktrin mengenai dosa justru acap digunakan untuk intimidasi. Akhirnya Carla melanggar sumpah dan memutuskan keluar dari lingkungan gereja.
Selepas dari biara, Carla menjalani hidup normal dengan menikah dan mempunyai anak, akan tetapi itu pun tak bertahan lama. Ada ketidakpuasan, terutama terkait dengan dorongan seksualnya, membuat ia memilih bercerai dan akhirnya… memasuki kehidupan yang sangat bertolak belakang secara moral: menjadi pekerja seks komersial. Pilihannya itu juga demi membiayai kehidupan bersama anak perempuannya.
Carla menyebut dirinya menjadi pelacur Tuhan, setelah ia bekerja sendiri, bebas dari germo. Terinspirasi dari lukisan pada vas Cina yang menggambarkan persetubuhan antara biarawati yang berpakaian lengkap dengan laki-laki pelbagai profesi, termasuk pelajar lajang. Benaknya segera merangkai cerita berupa pembenaran untuk perilakunya sebagai pelacur. Para biarawati itu membutuhkan para pria dan menggunakan seks sebagai meditasi kepada Tuhan. Biarawati (mungkinkah dalam agama Buddha di Cina?) dan lelaki yang membutuhkan chi wanita, berbagi emosi yang tepat dalam membangkitkan energi fisik dan spiritual. Sejak itu Carla membayangkan dirinya sebagai pelayan hasrat murni pelanggannya untuk menawarkan energi feminin yang akan menyeimbangkan hidup mereka. Para pelanggan akan merasa damai, terberkati dan suci, karena Pelacur Tuhan telah memberikan yang terbaik bagi mereka. Bahkan ia memasang iklan pada suratkabar Sabtu dengan kalimat: ahli sekaligus penyayang.
Apakah berarti jalan yang ditempuh Carla direstui Tuhan? Bagaimanapun, pada periode menjadi pelacur independen, dia mendapatkan banyak pengalaman seksual dengan pelbagai tipe laki-laki, termasuk yang membuatnya berubah pikiran. Semula ia beranggapan sanggup memberikan solusi bagi setiap pria yang memiliki problem rumah tangga. Ternyata tidak. Ada seorang pria, setelah mengalami orgasme yang hebat, justru gemetar dan menyembunyikan tangisnya yang menyayat hati. Peristiwa itu seperti pemantik yang memicu kesadaran baru bagi Carla. Apa yang para pria cari sesungguhnya tak pernah diperoleh dari pelayanannya.
Kontroversi yang ada dalam buku God’s Callgirl adalah kejujuran dan keluguan Carla dalam menyingkap seluruh rahasia yang, boleh jadi, dapat menyinggung pihak keluarga maupun gereja. Oleh karena itu, saran Romo Haryatmoko, dalam membaca buku ini sebaiknya tidak melakukan judgement terlalu dini. Nikmati saja dulu hingga akhir lalu petiklah pelajaran yang positif. Sebagaimana pada umumnya memoar, jalan hidup memang serba tak terduga. Untuk menemukan jati-diri kadang-kadang perlu menempuh liku-liku sejarah yang tak hendak diulanginya.
Ditulis beberapa tahun yang lalu, buku ini cukup detail menggambarkan perjalanan hidup Carla van Raay, termasuk perasaan-perasaannya yang unik terhadap ayah (pada masa remaja) dan dengan sejumlah lelaki pelanggannya (di masa menjadi pelacur). Dalam menulis memoar ini, terutama pengalaman masa kecilnya yang luar biasa, Carla tentu tidak lagi mengambil sudut pandang sebagai anak-anak. Pelbagai pikiran dewasa masuk untuk memperkuat memori, tentang sikapnya terhadap situasi perang, anggota keluarga, dan kehidupan gereja. Meskipun demikian, ia tetap mengistilahkan “benda yang bau dan mengeluarkan cairan ke mulutku” untuk peristiwa pelecehan yang diterimanya semasa prasekolah.
Anda dapat melihat kecantikan Carla van Raay melalui beberapa foto dalam buku itu. Foto-foto itu menandai momen-momen penting hidupnya. Bagi laki-laki, tak perlu tergoda, karena kini ia sudah 69 tahun, hidup lurus dan memiliki cucu.
sumber : http://www.lucgen.com/2013/06/pengakuan-kontroversial-pelacur-tuhan.html
Nenek Carla melakukan hubungan seks pranikah dan melahirkan ibu Carla. Peristiwa ledakan petir yang membuat neneknya buta dianggap sebagai bentuk hukuman Tuhan. Di kemudian hari, Carla pun tahu bahwa ibunya hamil sebelum menikah dengan ayahnya. Dari sanalah Carla melihat tanda-tanda kegelapan yang bermuasal dari urusan dosa seksual.
God’s Callgirl. Dari judulnya saja, buku itu sudah mengundang kontroversi. Demikianlah Carla van Raay, yang telah menuliskan kisah hidupnya secara jujur dan blak-blakan. Buku itu menjadi best seller di Australia melalui penerbit Harper Collins dan kini diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Hikmah. Berbeda dengan memoar lain, ada aroma sastra yang membuat buku ini nikmat dibaca.
Carla van Raay lahir tahun 1938 di kota kecil Tilburg, Belanda. Di masa itu perang sedang berkecamuk. Tapi bukan kondisi itu yang membuat gadis kecil
Carla merasa sangat menderita dan ketakutan. Ia mengalami pelecehan seksual dari orang yang dihormati dan dipujanya, ayahnya sendiri, pada usia 3 tahun! Rahasia itu disimpannya hingga masuk SD. Ingatan buruk itu digambarkan begitu jelas, bagaimana pada malam hari sang ayah mendatangi tempat tidurnya dan memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya setelah menciumi seluruh wajahnya penuh nafsu. Kejadian traumatik itu berulang terus-menerus, memengaruhi kehidupannya hingga dewasa. Baginya, sang ayah seperti tokoh dengan pribadi ganda seperti Dr. Jekyll dan Mr Hyde. Ia bisa begitu baik, penolong, dan menunjukkan perilaku heroik, namun di sisi lain, saat hasrat seksual tak dapat dipenuhi oleh istrinya, jadi sangat menakutkan.
Pada tahun 1950, keluarganya pindah ke Australia. Selepas SMA, usia 18 tahun, Carla memutuskan menjadi biarawati. Tiga belas tahun hidup sebagai “pelayan Tuhan” ternyata tidak membuat pikirannya terang-benderang. Ia hanya menemukan konsep dosa yang serba menakutkan dari para pastor dan seniornya. Seks dan agama, tampaknya memang dua kutub yang berseberangan namun saling “menggoda” satu sama lain. Selalu ada pengkhianatan di antara keduanya. Carla sama sekali tidak melihat kejujuran mengenai seks dalam kehidupan biarawati, karena doktrin mengenai dosa justru acap digunakan untuk intimidasi. Akhirnya Carla melanggar sumpah dan memutuskan keluar dari lingkungan gereja.
Selepas dari biara, Carla menjalani hidup normal dengan menikah dan mempunyai anak, akan tetapi itu pun tak bertahan lama. Ada ketidakpuasan, terutama terkait dengan dorongan seksualnya, membuat ia memilih bercerai dan akhirnya… memasuki kehidupan yang sangat bertolak belakang secara moral: menjadi pekerja seks komersial. Pilihannya itu juga demi membiayai kehidupan bersama anak perempuannya.
Carla menyebut dirinya menjadi pelacur Tuhan, setelah ia bekerja sendiri, bebas dari germo. Terinspirasi dari lukisan pada vas Cina yang menggambarkan persetubuhan antara biarawati yang berpakaian lengkap dengan laki-laki pelbagai profesi, termasuk pelajar lajang. Benaknya segera merangkai cerita berupa pembenaran untuk perilakunya sebagai pelacur. Para biarawati itu membutuhkan para pria dan menggunakan seks sebagai meditasi kepada Tuhan. Biarawati (mungkinkah dalam agama Buddha di Cina?) dan lelaki yang membutuhkan chi wanita, berbagi emosi yang tepat dalam membangkitkan energi fisik dan spiritual. Sejak itu Carla membayangkan dirinya sebagai pelayan hasrat murni pelanggannya untuk menawarkan energi feminin yang akan menyeimbangkan hidup mereka. Para pelanggan akan merasa damai, terberkati dan suci, karena Pelacur Tuhan telah memberikan yang terbaik bagi mereka. Bahkan ia memasang iklan pada suratkabar Sabtu dengan kalimat: ahli sekaligus penyayang.
Apakah berarti jalan yang ditempuh Carla direstui Tuhan? Bagaimanapun, pada periode menjadi pelacur independen, dia mendapatkan banyak pengalaman seksual dengan pelbagai tipe laki-laki, termasuk yang membuatnya berubah pikiran. Semula ia beranggapan sanggup memberikan solusi bagi setiap pria yang memiliki problem rumah tangga. Ternyata tidak. Ada seorang pria, setelah mengalami orgasme yang hebat, justru gemetar dan menyembunyikan tangisnya yang menyayat hati. Peristiwa itu seperti pemantik yang memicu kesadaran baru bagi Carla. Apa yang para pria cari sesungguhnya tak pernah diperoleh dari pelayanannya.
Kontroversi yang ada dalam buku God’s Callgirl adalah kejujuran dan keluguan Carla dalam menyingkap seluruh rahasia yang, boleh jadi, dapat menyinggung pihak keluarga maupun gereja. Oleh karena itu, saran Romo Haryatmoko, dalam membaca buku ini sebaiknya tidak melakukan judgement terlalu dini. Nikmati saja dulu hingga akhir lalu petiklah pelajaran yang positif. Sebagaimana pada umumnya memoar, jalan hidup memang serba tak terduga. Untuk menemukan jati-diri kadang-kadang perlu menempuh liku-liku sejarah yang tak hendak diulanginya.
Ditulis beberapa tahun yang lalu, buku ini cukup detail menggambarkan perjalanan hidup Carla van Raay, termasuk perasaan-perasaannya yang unik terhadap ayah (pada masa remaja) dan dengan sejumlah lelaki pelanggannya (di masa menjadi pelacur). Dalam menulis memoar ini, terutama pengalaman masa kecilnya yang luar biasa, Carla tentu tidak lagi mengambil sudut pandang sebagai anak-anak. Pelbagai pikiran dewasa masuk untuk memperkuat memori, tentang sikapnya terhadap situasi perang, anggota keluarga, dan kehidupan gereja. Meskipun demikian, ia tetap mengistilahkan “benda yang bau dan mengeluarkan cairan ke mulutku” untuk peristiwa pelecehan yang diterimanya semasa prasekolah.
Anda dapat melihat kecantikan Carla van Raay melalui beberapa foto dalam buku itu. Foto-foto itu menandai momen-momen penting hidupnya. Bagi laki-laki, tak perlu tergoda, karena kini ia sudah 69 tahun, hidup lurus dan memiliki cucu.
sumber : http://www.lucgen.com/2013/06/pengakuan-kontroversial-pelacur-tuhan.html
0 komentar:
Posting Komentar