Senin, 22 April 2013

Kisah Unik Besudut, Anak Rimba Pertama yang Ikut UN


Kisah Unik Besudut, Anak Rimba Pertama yang Ikut UN - Di tengah karut marutnya ujian nasional, ada "angin segar" bagi dunia pendidikan Indonesia. Ya, orang rimba yang kehidupan sehari-hari di hutan belantara kini sudah mulai mengenyam pendidikan.

Ini terbukti dengan Besudut, anak rimba pertama dan satu-satunya yang mengikuti ujian nasional SMA Senin hingga Kamis lalu.

Besudut, anak rimba dari kelompok Tumenggung Ngadap di Bernai Makekal Barat, Taman Nasional Bukit Dua Belas Provinsi Jambi, menjadi salah satu peserta ujian nasional yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2013.

Besudut yang di sekolahnya diberi nama Irman Jalil mengikuti ujian nasional di SMA 14 Jalan Pintas Bangko Kecamatan Muara Tabir, Kabupaten Tebo.

Diceritakan Besudut, Jumat 19 April 2013, ia bersama empat belas temannya yang merupakan siswa kelas XII IPS sudah siap menghadapi UN. Meski cukup pusing mengisi jawaban ujian, tapi dia bisa melaluinya dengan baik.
"Setibanya kami di kelas, semua muka kawan-kawan menekuk dan menahan napas panjang. Kami semua poning (pusing)," katanya sembari mengekspresikan kesulitannya ketika ujian.

Sebelum UN digelar, Besudut atau yang sehari-hari dipanggil Herman, meski nama yang tertera di ijazah Irman Jalil, telah berusaha untuk mempersiapkan diri, termasuk mengikuti try out yang diadakan sekolahnya.

"Bagi kami pencapaian Besudut seperti sekarang merupakan salah satu bentuk perkembangan pendidikan yang kami gagas sejak 1998,” kata Rudi Syaf, Manajer Komunikasi KKI Warsi.

Sebelum terdaftar di sekolah formal, Besudut merupakan salah satu murid pendidikan alternatif yang diselenggarakan Warsi di wilayah Makekal. Perjuangan dan perjalanan panjang serta pasang surut kehidupan dijalani Besudut.
Setelah mengikuti pendidikan alternatif bersama Warsi, Besudut sempat keluar rimba dan hidup bersama masyarakat kampung dan disekolahkan di sekolah dasar. 

Setelah tamat SD dan masuk SMP, Besudut kembali ke rimba untuk berkumpul dengan keluarganya. Hingga kemudian pada 2009, Besudut bertemu dengan fasilitator pendidikan Warsi dan berharap bisa menjembataninya untuk melanjutkan pendidikan.
Dia kemudian dimasukkan ke SMP 14 SPB, Bangun Serenten, Muara Tabir Kabupaten Tebo yang pada waktu itu, menyelenggarakan program SMP terbuka.

Dengan model pendidikan di SMP terbuka, Besudut bisa tinggal bersama keluarganya di Bernai yang bisa ditempuhnya dengan menggunakan sepeda motor atau berjalan kaki sejauh 10 km.

Setelah menamatkan SMP, Warsi kembali mengadvokasikan supaya Besudut bisa diterima di SMA paket reguler. Dari advokasi Warsi, Besudut diterima di SMAN 14 Tebo yang berjarak sekitar 15 Km dari Bernai.
Beasiswa
Selama mengikuti sekolah di SMA itu, Besudut mendapatkan keringanan dalam membayar buku-buku dan administrasi dari sekolahnya. Dan pihak sekolah juga memberikan beasiswa untuk biaya hidupnya sehari-hari. 

Besudut juga mendapatkan biaya sekolah dari membantu membersihkan kebun pamannya. Kegiatan ini dilakukannya ketika libur sekolah. Upah yang didapatkan ini digunakan untuk tambahan biaya sekolahnya.

"Kami tidak memberikan persiapan khusus dengan Besudut untuk ujian nasional ini. Semua siswa mendapatkan pelajaran tambahan dan try out sebelum ujian," ujar Kepala Sekolah SMAN 14 Tebo, Suparjo. 

Besudut terus berjuang dengan mimpinya hingga ke perguruan tinggi, dan dia ingin membuktikan orang Rimba juga mampu untuk sekolah tinggi sama dengan kelompok masyarakat lainnya.
"Mudah-mudahan bisa lulus, dan melanjutkan lagi ke perguruan tinggi. Kalau ada kuliah yang tidak masuk tiap hari, jadi bisa sambil cari kerja di luar," sebutnya.

Meski sudah sekolah, Besudut di kala libur terus berkunjung pada orang tua dan keluarganya di rimba, minimal sebulan dua kali. Hanya selama pelaksanaan ujian Besudut mengurangi kunjungannya ke rimba. 

Pada awal dia memutuskan untuk bersekolah dan meninggalkan rimba. Namun, Besudut mendapatkan penentangan yang keras dari induk dan paman-pamannya.

Mereka merasa takut dengan keluarnya Besudut dari rimba akan putus hubungan adat kerimbaan dengannya. Namun, kegigihannya membuktikan bisa menyelesaikan pendidikan formal sejauh ini.
"Orang Rimba tidak bisa ditipu lagi karena memiliki ilmu yang sama dengan orang luar. Misalnya di tanah Garo, banyak yang menipu orang rimba, misalnya jernang sekilo cuma dikasih kain satu sampai dua keping. Padahal, jernang harganya Rp500 ribu," katanya.

0 komentar:

Posting Komentar

Update Terbaru

Blogger Widget Get This Widget -

Semua Ada di Sekitar Kita