Tradisi Unik Lampung, Sajikan Kelezatan Berbalut Keakraban
Anda mungkin terbiasa menyantap makanan hanya dengan piring, sendok, dan garpu. Terkadang ditambah pisau. Praktis, minimalis, sama sekali tak neko-neko. Modern dan khas urban.
Namun, cobalah bertandang ke Lampung. Di sana, penyajian makanan tak sesederhana masyarakat perkotaan. Ada berbagai peranti unik yang bercita rasa seni tinggi.
Anda mungkin terbiasa menyantap makanan hanya dengan piring, sendok, dan garpu. Terkadang ditambah pisau. Praktis, minimalis, sama sekali tak neko-neko. Modern dan khas urban.
Namun, cobalah bertandang ke Lampung. Di sana, penyajian makanan tak sesederhana masyarakat perkotaan. Ada berbagai peranti unik yang bercita rasa seni tinggi.
Misalnya dalam tradisi Cuwak Mengan Nyeruwit, sambutan tuan rumah pada tamu untuk makan bersama.
Menurut Azizah Arozak, perwakilan Pemerintah Daerah Provinsi Lampung Tulang Bawang, ‘nyeruwit’ berasal dari kata ‘seruwit’. Itu makanan khas Lampung.
“Seruwit itu sambal yang dicampur ikan. Ikannya bisa diolah apa saja. Dibakar, dipepes, atau digoreng. Ditambah terung ungu bakar dan mentimun, dicampur menjadi satu,” ujarnya pada VIVAlife.
Untuk menyajikan makanan khas itu, perantinya bermacam-macam. Seruwit diletakkan dalam wadah besar, yang dihidangkan beralaskan tikar. Bahan dasar tikar itu pun tak sembarangan, yakni dari daun purun.
Dari dapur menuju tempat makan saja, sudah penuh tradisi berseni khusus. Ada Talam Dolang, yakni tempat membawa nasi, lauk, dan berbagai peralatan makan. Pada masyarakat umum, kurang lebih fungsinya sama dengan nampan.
Piring yang digunakan untuk makan, disebut Pighing. Jenisnya tak hanya satu. Ada piring penyeruwit sebagai wadah olahan seruwit, adapula Pisin atau piring untuk sambal. Bentuknya tentu berbeda-beda. Namun, warnanya serupa, broken white.
“Menurut orang tua terdahulu, material piring-piring makan ini terbuat dari tulang,” kata Azizah menerangkan.
Kalau orang biasa menyebut tempat nasi sebagai bakul, tradisi Lampung menamainya Tenong. Bakei merupakan tempat sayur, sedangkan Pengjung tempat buah. Sendok pun bermacam-macam. Untuk mengambil kuah, namanya Aghew. Cetung, adalah sendok pengambil nasi.
Orang Lampung tak biasa makan dengan sendok, garpu, apalagi pisau. Bagi mereka, makan dengan tangan lebih nikmat. Tak heran mereka mengenal Kubukan, mangkuk pencuci tangan. Ada pula Serbit Ratus, sapu tangan yang terbuat dari kain perca.
Selain itu, masih ada Cekkigh atau gelas. Serta Tudug Sajei, penutup hidangan yang terbuat dari bambu atau rotan.
Setelah semua sajian dan peranti lengkap, barulah tuan rumah mempersilakan tetamu untuk makan bersama. Berkumpul, tanpa ada jarak atau jeda. Semua makan dengan duduk bersimpuh atau lesehan. Azizah menuturkan, tradisi ini memiliki filosofi tersendiri.
“Artinya orang Lampung itu menyatu dalam kebersamaan, baik suka maupun duka,” katanya. Pasalnya, setelah makanan habis, tuan rumah dan tetamu tak langsung sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka berbagi cerita serta senda gurau di tempat makan.
Tradisi unik ini dipercaya mempererat hubungan tuan rumah dan tamunya. Filosofi yang sungguh mulia. Di daerah tertentu, tradisi Cuwak Mengan Nyeruwit masih dipertahankan hingga kini. (eh)
Menurut Azizah Arozak, perwakilan Pemerintah Daerah Provinsi Lampung Tulang Bawang, ‘nyeruwit’ berasal dari kata ‘seruwit’. Itu makanan khas Lampung.
“Seruwit itu sambal yang dicampur ikan. Ikannya bisa diolah apa saja. Dibakar, dipepes, atau digoreng. Ditambah terung ungu bakar dan mentimun, dicampur menjadi satu,” ujarnya pada VIVAlife.
Untuk menyajikan makanan khas itu, perantinya bermacam-macam. Seruwit diletakkan dalam wadah besar, yang dihidangkan beralaskan tikar. Bahan dasar tikar itu pun tak sembarangan, yakni dari daun purun.
Dari dapur menuju tempat makan saja, sudah penuh tradisi berseni khusus. Ada Talam Dolang, yakni tempat membawa nasi, lauk, dan berbagai peralatan makan. Pada masyarakat umum, kurang lebih fungsinya sama dengan nampan.
Piring yang digunakan untuk makan, disebut Pighing. Jenisnya tak hanya satu. Ada piring penyeruwit sebagai wadah olahan seruwit, adapula Pisin atau piring untuk sambal. Bentuknya tentu berbeda-beda. Namun, warnanya serupa, broken white.
“Menurut orang tua terdahulu, material piring-piring makan ini terbuat dari tulang,” kata Azizah menerangkan.
Kalau orang biasa menyebut tempat nasi sebagai bakul, tradisi Lampung menamainya Tenong. Bakei merupakan tempat sayur, sedangkan Pengjung tempat buah. Sendok pun bermacam-macam. Untuk mengambil kuah, namanya Aghew. Cetung, adalah sendok pengambil nasi.
Orang Lampung tak biasa makan dengan sendok, garpu, apalagi pisau. Bagi mereka, makan dengan tangan lebih nikmat. Tak heran mereka mengenal Kubukan, mangkuk pencuci tangan. Ada pula Serbit Ratus, sapu tangan yang terbuat dari kain perca.
Selain itu, masih ada Cekkigh atau gelas. Serta Tudug Sajei, penutup hidangan yang terbuat dari bambu atau rotan.
Setelah semua sajian dan peranti lengkap, barulah tuan rumah mempersilakan tetamu untuk makan bersama. Berkumpul, tanpa ada jarak atau jeda. Semua makan dengan duduk bersimpuh atau lesehan. Azizah menuturkan, tradisi ini memiliki filosofi tersendiri.
“Artinya orang Lampung itu menyatu dalam kebersamaan, baik suka maupun duka,” katanya. Pasalnya, setelah makanan habis, tuan rumah dan tetamu tak langsung sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka berbagi cerita serta senda gurau di tempat makan.
Tradisi unik ini dipercaya mempererat hubungan tuan rumah dan tamunya. Filosofi yang sungguh mulia. Di daerah tertentu, tradisi Cuwak Mengan Nyeruwit masih dipertahankan hingga kini. (eh)
sumber http://life.viva.co.id/news/read/445580-tradisi-unik-lampung--sajikan-kelezatan-berbalut-keakraban
0 komentar:
Posting Komentar